Sunday, December 18, 2016

REVIEW BUKU “SOEHARTO | BAGAIMANA MELANGGENGKAN KEKUASAAN SELAMA 32 TAHUN?”

PELESTARIAN PANCASILA

Kecenderungan untuk menempatkan Pancasila sebagai “ideology negara” kembali terulang pada masa orde baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak  demokrasi terpimpin. Tokoh-tokoh anti-komunis saat utu tidak menemukan konsep ideology yang dapat mempersatukna seluruh kekuatan anti komunis kecuali oancasila. Masalahnya, wacana opancasila masa demokrasi terpimpin didominasi tafsir Soekarno. Sedangkan para tokoh antikomunsi tidak menyetujuinya. Karena belum menemukan alternative lain, jalan termudah adalah kembali pada Pancasila dengan tafsir sama sekali berbeda dengan penafsiran Soekarno. Itupun bukan persoalan mudah karena belum ada hyang mampu memberi interpretasi baru terhadap Pancasila yang dapat menandingi Soekarno. Masalah itu baru bias bias dijawab ketika Soeharto berhasil menafsirkan Pancasila dengan pedoman penghayatan dan pengalaman Pancasila (P4). Orde baru melegitimasi tafsir-yang utnuk masa selanjutnya mampu memberi tafsiran baru-dan tidak melakukan reposisi pancasilayang kembali diperlukan sebagai sebuah ideology yang bersifat tunggal (As’ad Said Ali, 2009:35-39).

Metode tunggal semacam itu diberlakukan dalam tap MPR NO.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasilayang diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan masyarakat.namun demikian ada yang ambigu dalam Tap itu, pasal 1 menyatakan "P4 tida“ merupakan tafsir pancasila sebagai dasr Negara”. Sementara dalam konsiderans dinyatakan “demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan gerak langkah dalam menghayati serta mengamalkan pancasila perlu adanya pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila”.

Pada dasarnya pancasila sepenuhnya telah menjadi sebuah ideology yang komprehensif. Pancasila adalah jiwa dan kepribadian, pancasila adalah pandangan hidup, pancasila adalah tujuan, pancasila adalah perjanjian luhur, pancasila adalah dasar Negara dan masih banyak lagi. Pancasila ditempatkan pada posisi sentral yang mempunyai kebenaran tunggal dan menampik gagasan lain yang dianggap kurang berkesesuaian. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk mengajarkan pancasila bagaimana seharusnya berprilaku yang benar menurut pancasila . kesadaran ini sudah ditanamkan sejak pendidikan usia dini, mulai dari SD  sampai  perguruan tinggi. Selain itu penataran P4 juga diwjibkan bagi seluruh masyarakat. Semua instrumen itu dimaksudkan untuk mengajarkan bagaimana cara penghayatan dan pengamalan pancasila.selain itu masyarakat diberi contoh prilaku yang dianggap menyimpang dari pancasila dan prilaku yang tidak menyimpang dari pancasila. Prilaku yang dianggap menyimpang disebut “ekstrem kiri” dan prilaku yang tidak dianggap menyimpang disebut” ekstrem kanan”, dimana negara menjadi pihak yang paling benar dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila (As’ad Said Ali, 2009:40-42).

Sejak 1970, orde baru mengubah peringatan Hari Keasktian Pancasila pada setiap awal Oktober. Keberhasilan Soeharto menumpas pemberontakan 30 September 1965,  memberi inspirasi kepadanya untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober setiap tahun. Kebijakan baru ini sejalan dengan keyakinan pemerintah semua usaha pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain selalu berakhir dengan kegagalan.  Kelangsungan hhidup Pancasila melalui semua fase kritis yang telah dihadapi bangsa ini membuat Soeharto percaya bahwa Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideology negara tidak dapat ditolak.

Soeharto terus melindungi dan mempertahankan pancasila dari semua ancaman dan memperjuangkan pancasila sebagai persoalan hidup atau mati bagi bangsa indonesia. Hasilnya tercapai dua konsensus nasional antara para pemimpin ABRI dan semua kekuatan politik. Yang pertama sepakat untuk tetap memprtahankan pancasila setelah pemberontakan yang dituduhkan pada pki. Kedua, antara ABRI dan kekuatan sosio politik tidaka akan berpartisipasi dalam pemilu. Perlindungan rezim soeharto terhadap pancasila dan UUD 1945 sangat rinci. Tetapi soeharto tetap mencari jaminan yang lebih menyakinkan dengan mengajukan pancasila sebagai ideologi negara untuk mematikan ideologi islam. Sebab ia masih curiga pada kelompok islam yang akan menggati ideologi pancasila dengan ideologi islam.

Kecurigaan pemerintah terhadap umat islam menjadi lebih kuat ketika para wakil partai islam “ memaksakan keabsahan piagam jakarta sebagai pembukaan UUD 1945” walaupun gagal dalam sidang MPRS. Menurut Leo Suryadinata, kecurigaan pemerintah terhadap umat islam mungkin dipengaruhi revolusi islam di Iran yang mencapai puncaknya. Donald K Emerson menjelaskan, akar kecurigaan antara pemerintah dan umat islam adalah khawatir umat islam menggunakan aqidahnya untuk menghancurkan negara. Sedangkan umat islam takut negara merusak aqidah mereka.

Antara tahun 1976-1977, soeharto mulai melontarkan gagasan penyusunan P4 yanga akan dijadikan sebagai pedoman resmi untuk pemahaman dan pengamalan pancasila dalam berbagai pidato nasional. Ia mengajukan Nama Eka Prasetya Pancakarsa untuk penyusunan P4  sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita.(1) taqwa kepada tuhan yang maha esa dan menghargai orang lain yang berlainan agama.(2) mencintai sesama manusia dan selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang wenang dan tepa slira.(3) mencintai tanah air menempatkan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi.(4) demokrasi dan patuh pada utusan rakyat yang sah; dan (5) suka menolong, menggunakan apa yang dimilikinya untuk menolong orang lain sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.

Presiden Soeharto mengajukan draf P4 kepada MPR dengan maksud membantu DPR menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang sesingkat mungkin.akhirnya, rancangan P4 disahkan MPR dalam sidangnya pada tanggal 21 maret 1978 dan dikuatkan dengan Tap MPR No.II/MPR/1978. Pengesahan P4 disahkan melalui voting oleh semua fraksi kecuali PPP, karena PPP tidak setuju dengan pengesahan P4. Materi refrensi penataran P4 menjelaskan bukan hanya soekarno yang berbicara mengenai pancasila melainkan ada muh. Yamin dan soepomo. Nugroho Notosusanto merujuk pada buku suntingan muhammad yamin menyatakn, soekarno bukan orang pertama yang merumuskan lima prinsip pancasila. Soekarno hanyalah orang yang memunculkan istilah pancasila. Bertolak dari premis ini, nugroho notosusanto menggugat keabsahan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya pancasila.

Soeharto menghapus peringatan hari lahirnya pancasila pada 1 Juni 1945. Ketika tulisan Nogroho dilansir,MPR bahkan telah 3 kali (1966,1973,1978) memutuskan rumusan pancasila yang legal dan otentik dalam pembukaan UUD 1945 tidak meliputi pemikiran soekarno tentang internasionalisme dan rumusan pemikirannya yang lain. Secara transparan rezim soeharto mengabsahkan premis nugroho diatas. berbicara tanpa teks dihadapan rapat pimpinan ABRI di pekan baru pada tanggal 27 maret 1980, soeharto menyerang lawan-lawan politiknya dan menyampaikan sejumlah pemikiran kontroversial tentang peran ABRI di Masyarakat.”sebelum orde baru lahir, kita melihat dan merasakan ideologi nasional kita dimasuki oleh berbagai macam ideologi yang telah ada, apakah itu marxisme, nasionalisme, atau agama.kelompok yang menganut berbagai ideologi tersebut sesekali mereka akan berbuat kasar dan memaksakan  kehendak kepada golongan lainnya. Dengan demikian akan terjadi pemberontakan yang tak ada habis-habisnya. Semua itu akan menjadi halangan terhadap pembangunan masyarakatyang adil dan makmur berdasarkan pancasila.oleh karena itu orde baru bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan terhadap pancasila dan UUD 1945.

Apa yang diutarakan soeharto sebagai pihak yang berkuasa tidaklah mengejutkan secara politik. Tetapi, ketika soeharto menyebutkan sosialisme, marhaenisme, nasionalisme, dan agama dalam daftar ideologi yang tidak dikehendaki membanngkitkan kemarahan hampir setiap kelompok politik dan sosial negeri ini. Hal itu membuat kecewa penganut sosialisme, kelompok nasionalis sekuler dan kelompok islam. Apakah yang mendesak soeharto untuk bicara dengan bahasa lugas, menyimpang dari kebiasaanya?? Pertama, sangat mungkin soeharto benar benar marah ketika NU melakukan walk out saat berlangsung pembahasan tentang P4 dan undang – undang pemilu. Lebih dari semuanya, pidatonya di Pekan Baru merupakan untuk menggaris bawahi keyakinannya bahkan hampir menjadi obsesinya. Meskipun soeharto selalu memancarkan aura-aura raja – raja kuno jawa yang sabar, menahan diri, bijaksana, tenang dan mudah mengendalikan diripada waktu tertentu emosinya meledak. Dalam keadaan seperti itu, ia akan menyerang secara membabi buta pada yang berseberangan dengan pemikirannya. Pidato yang diadakan di pekanbaru merupakan salah satu dari sifat emosionalnya.

Kedua, Soeharto menyatakan dengan sangat jelas meskipun menhankam jenderal Muhammad jusuf boleh mengatakan apapun, ABRI dan GOLKAR tetap satu dan tidak berubah. Menurut jendral Soemitro,sebenarnya soeharto agak marah dan tidak senang dengan pidato Muhammad Jusuf di Pekan Baru yang menekankan ABRI  harus berada pada semua golongan. Menurut pandangan kelompok lingkaran dalam Soeharto, masalah yang dipermasalahkan Muhammad Jusuf, Widodo, Sutopo Yuwono, dan sejumlah pensiunan jenderal ABRI harus berdiri diatas semua golongan merupakan sesuatu yang tidak realistis. Menurut Soemitro, jika ABRI melakukan hal itu,  maka PPP memenangkan pemilihan umum. Jika hal itu terjadi, maka ABRI akan mendapat pukulan lagi.

Pidato seoharto di Pekanbaru membuat semuanya menjadi jelas, kampanye terus berjalan dan bukan hanya untuk pemilu 1982, tetapi juga demi pemilihan presiden yang berarti kampanye tersebut untuk mengangkatnya menjadi presiden keempat kalinya dalam lima tahun berikutnya. Dalam pidatonya dikakatakan, kehadiran dirinya sangatlah masih diperlukan, islam ditengarai sebagai ancaman dan ABRI merupakan kekuatan yang dapat menjaga pancasila. Soeharto banyak berubah dalam masa 15 tahun kepemimpinannya. Ia menjadi otoriter, feodal, lebih kaku, semakin percaya mistik, sinis, korup, dan tidak mau mendengarkan kritikan dari orang lain.

Bahkan jika ada yang berani membangkang dia tidak akan segan – segan lagi, dia sudah termakan oleh sifat terlalu percaya dirinya yang bisa membahayakan dirinya sendiri.pada tahun awal kepemimpinannya dia sebagai pejabat presiden dan menjadi presiden, soeharto banyak menyandarkan dirinya kepada para penasehatnya baik itu sipil maupun militer. Dan jika ia telah mengambil keputusan, maka tak mungkin ada pihak yang bisa membujuknya untuk mengubah keputusan, sekalipun keputusannya itu keliru.

Soeharto mengebiri partai-partai politik, demi kelangsungan partainya dia rela melakukan apapun untuk kemaslahatan dirinya. Bahkan soeharto memberangus Media massa, mengawasi mahasiwa dengan ketat bahkan memenjarakan lawan politiknya. Tetapi David jenkins mengatakan, soeharto mencapai banyak hala pada masa pemerintahannya. Ekonomi berkembang sangat pesat, masuknya pendapatan dari minyak dan kayu,produksi beras yang mencapai dua kali lipat, pendidikan yang mulai digalakan mulai dari didirikannya sekolah dan jalan – jalan baru yang dibangun diseluruh negeri di kepulauan indonesia. Semuanya berhasil sehingga berbagai kritik yang mencari-cari kesalahan Soeharto tidak patut dipertimbangkangkan. Penghormatan tertinggi dari para penasihat paling senior dan anggota cabinet semakin memperkuat keyakinannya akan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Karena kekuasaan kian besar, Soeharto semakin merasakan “ancaman” lebih besar terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang dianggap berlebihan bagi banyak orang. Soeharto berusaha membangun struktur yang memastikan tidak ada perubahan, baik terhadap falsafah negara maupun  UUD 1945. Menurut analisis terakkhirnya, ABRI akan menjadi penjamin tidak akan terjadinya perubahan semacam itu. Tiga minggu setelah pidato di pekanbaru, dalam sambutan tanpa teks dalam ulang tahun ke-28 Kopassus di cijantung, Soharto sekali lagi melakukan serangan. Kini sasarannya “mahasiswa dan ibu rumah tangga” yang menyebarkan desas-desus istrinya, Tien Soeharto, menerima komisi dan dapat menentukan siapa yang akan memenagkan tender pemerintah. Selain itu beredar rumor dirinya mengambil seorang aktris terkenal sebagai istri simpanan. Menurut Soeharto, desas-desus tersebut bertujuan untuk menjatuhkan kedudukannya. Tetapi, mereka yang menyebarkan itu lupa jika dirinya tersingkir, maka yang lain akan muncul mencegah rencana itu. Terlebih lagi jika orang-orang tersebut hendak mengganti ideology Pancasila dan mengubah UUD 1945.

Pada 13 Mei 1980 sekelompok  tokoh yang terdiri dari 50 orang, termasuk sejumlah negarawan sepuh yang sangat dihormati menyampaikan selembar “pernyataan keprihatinan” kepada DPR yang menyatakan “Pernyataan kecewa” rakya Indonesia atas sejumlah pidato Soeharto. Dokumen tersebut ditandatangai oleh 2  orang bekas Perdana Menteri Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap; bekas ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara;bekas Menhankam/KASAB Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, bekas Gubernur DKI Letjen (Purn.) Ali Sadikin, bekas Kepala Polri Jenderal Polisi (Purn.) Hugeng Imam Santoso, Letjen (Purn.) Mokoginta, dan Jenderal (Purn.) Muhammad Jasin. Terdapat juga nama beberapa manatan menteri dan berbagai tokoh Islam dan mahasiswa.

Petisi itu menyatakan pidato Presiden Soeharto menimbulkan asumsi terjadinya polarisasi antara pihak yang “mempertahankan Pancasila”  dengan pihak yang hendak “menggantikan Pancasila”. Petisi ini menyatakan Soeharto telah menafsirkan secara keliru dalam dua pidatonya. Soeharto menggunakan ideology negara itu untuk menyerang lawan politiknya. Sebaliknya, penanda tangan petisi menyatakan Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa. Pidato itu memberikan keasan terhadap pihak yang memandang dirinya sendiri sebgai personifikasi Pancasila. Sehingga setiap “setiap napas oposisi” dinilai sebagai anti-pancasila. Sebagai pemilih mereka meminta wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato tersebut. Sangat jelas petisi itu mengkritik presiden Soeharto, ditulis secara piawai dan disampaikan sesuai kjalur konstitusi yang menyulitkan pemerintah memberi reaksi keras.

Nasution prihatin dengan cara-cara Soeharto mengabaikan umat Islam dengan mengatakan, “Sembilan puluh persen rakyat Indonesia pemeluk Islam. Telah menjadi pemahaman kedua pihak sejak awal memperjuangkan aspirasi Islam bukan berarti meragukan Pancasila. Bahkan dengan pemahaman religious umat Islam dapat memahami etika dan moral Pancasila. Bung Karno dan Bung Hatta telah menjelaskan hal itu dalam berbagai kesempatan”. Politisi NU Khalid Mawardi yang menjabat sebagai Wakil Sekjen PPP menyuarakan hal yang sama. PPP menganggap Islam dan Pancasila tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Amin Iskandar dari FPP di DPR menambahkan tidak ada pemimpin partai dan politisi di kalangan partai-partai yang berambisi mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan menggantikannya dengan Islam. Menurut ketua umum PP Muhammadiyah H.A.R. Fachruddin, aksi “walk-out” ketika siding membahas P4 dilakukan “bukan dalam rangka anti-pancasila tetapi dalam rangka demokrasi”. Sedangkan Wakil Rois A’am PB NU K.H. Anwar Musadad menyatakan, aksi “walk-out” yang dilakukan pada  siding MPR 19878 oleh  fraksi PPP dan kelompok NU dalam siding penerapan UU Pemilu semata-mata karena perbedaan pendapat  yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Ia bertanya, “Apakah berdasarkan Pancasila semua orang harus menjadi yes men ?”.

Menarik untuk dicatat, kemarahan Soeharto meningkat dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok tradisional NU. Sementara sejumlah tokoh politik Islam yang terkemuka yang ikut menandatangani petisi 50  adalah kelompok Islam modernis yang pernah  duduk sebagai anggota Masyumi.Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara pernah menduduki jabatan tinggi di Masyumi. Ketiganya terlibat dalam pemberintakan PPRI Sumatera Barat pada 1957-1958.

Ketika delegasi kelompok 50 diterima oleh berbagai fraksi DPR, Natsir menjelaskan pidato seorang kepala negara selalu memliki nilai penting sebagai undang-undang, instruksi atau perintah di negara mana pun tak terkecuali di Indonesia. Karena itulah, kelompok petisi 50 sangat  berkepentingan dengan pidato-pidato yang dilakukan oleh Presiden Soeharto di hadapan para panglima militer dan pendiri militer. Menurut Natsir, pdato seperti di Pekanbaru tidak bijaksana, membahayakan persatuan nasional dan meminta DPR untuk mempertimbangkan hal tersebut.  Penandatanganan petisi menyatakan, setelah pemberontakan darul Islam dipadamkan dan PKI dihancurkan, Pancasila tidak lagi menjadi masalah, tapi bagaimana melaksanakannya (David Jenkins, 2010: 211-219).

Pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berdasarkan pengalaman politik masa beberapa pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1977, terjadi pertarungan antar Golkar sebagai partai pemerintah berhadapan dengan Islam. Sedang pada pemilu 1982 terjadi peristiwa Lapangan Benteng, massa Golkar yang menghadiri kampanye dikejar-kejar oleh massa PPP. Dengan demikian, diperlukan penataan kesatuan orientasi dengan penerapan asas tunggal sehingga identitas primordial partai politik dan ormas akan pudar.

Konsep asas tunggal pancasil bermula dari pidato presiden Soeharto di Pekanbaru, Riau dalam Pembukaan Rapim ABRI pada 27 Maret 1980 dan ulang tahun Kopassu di Jakarta 16 April 1980. Dalam kedua pidato itu Soeharto menginginkan agar Pancasila dan UUD 1945  menjadi landasan dasar bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar tidak disalahgunakan dan dirongrong oleh berbagai kekuatan baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan. Keinginan Presiden Soeharto ini diulangi lagi pada Sidang Paripurna DPR 16 Agustus 1980 yang menegaskan kembali perlunya asas tunggal Pancasila sebagai kekuatan social dan politik di Indonesia. Deliar Noer mengatakan, (1) asas tunggal partai menafikkan kebhinekaan masyarakat yang berkembang menurut keyakinan masing-masing yang bersumber pada ajaran agama atau pemahaman lain; (2) asas tunggal partai menghalangi orang-orang dengan keyakinan yang sama untuk mengelompok dan bertukar pikrian sesamanya berdasarkan, termasuk agama  yang dianut masing-masing; (3) asastunggal partai manfikkan hubungan antara agama dan politk; (4) asas tunggal partai mengandung kecenderungan kea rah system partai tunggal; (5) asas tunggal partai menghalangi perkembangan paham-paham yang bersumber dari agam yang memperkuat Pancasila (Lili ROmli, 120-123).

Isu-isu keagamaan cukup popular selama kampanye pemilu 1982. Symbol-simbol keagamaan dan primordial menjadi kekuatan kampanye, mengalahkan isu-isu politik yang oenting untuk diperdebatkan. Mislanya, juru kampanye PPP mengklaim mencoblos tanda gambar partai mereka sama dengan memilih Islam. Sedangkan mencoblos partai lain, khususnya Golkar tidaklah Islami. Bahkan mengejek Golkar sebagai akronim golongan Quraisy merujuk pada suku Quraisy yang menentang usaha Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam di Mekkah. Menanggapi isu-isu ini, ketua umum Golkar Amir Moertono dalam pidato kampanyenya mengatakan pemilu semata-mata masalah politik dan tidak terkait dengan loyalitas keagamaan. Seperti dalam pemilu sbelumnya, pada pemilu 1982 Golkar mendapatkan suara mayoritas, yaitu 64,34 persen suara, PP 17,78 persen suara dan PDI 7,88 persen suara.

Berdasarkan persentase hasil pemilu Golkar mendapat 246 kursi (232 kursi pada pemilu 1977), PPP 94 kursi (99 kursi pada pemilu 1977) dan PDI mendapat 24 kursi (29 kursi pada pemilu 1977). Distribusi  ini  menujukan posisi PPP melemah dengan kehilangan 5 kursi dibandingkan pemilu pemilu 1982. Sedangkan GOlkar bertambah kuat dengan tambahan 14 kursi. PPP terus mengalami kekalahan politik berhadapan dengan Golkar. Seperti halnya PPP, posisi PDI juga mengalami kemunduran dengan kehilangan 5 kursi pada pemilu 1982. PPP dan PDI terlalu lemah untuk dapat menandingi Golkar yang didukung oleh pemerintah dan militer karena kekurangan dana dan buruknya system organisasi dan politik negeri ini.

Menyusul kekalahan politiknya, PPP dan PDI dikejutkan dengan usulan presiden Soeharto ntuk merapkan Pancasila sebagai asas tunggal untuk seluruh partai politik pada pidato kenegaraan di depan siding DPR 16 agustus 1982. Gagasan ini dimasukkan dalam Tap MPR No.11/MPR/1983 pasal 3 bab IV demi memelihara, memperkuat dan memantapkan Pancasila dalam kehidupan social dan bangsa. Seluruh partai politik dan GOlkar harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Dengan ketetapan ini, pemerintah menghapus asas khusus dan karakteristik “Islam” yang menjadi landasan PPP dan “Demokrasi, Nasionalisme, dan Keadilan Sosial” yang menjadi landasan PDI. Dengan menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal, pemerintah percaya antagonism ideologis diantara kekuatan-kekuatan sosila politik dapat dihilangkan. Sehingga pemerintah dapat mencurahkan seluruh perhatian dan enrginya untuk merealisasikan program pembangunan nasional.

Tujuan pemerintah menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik menimbulkan reaksi dari sebagaian masyarakat. Pegai negeri menyetujuinya dengan alasan mengurangi ketegangan politik dalam masyarakat, memperkuat  kekuatan nasional dan mendukung pelaksanaan program pembangunan nasional. Moeljarto Tjokrowinoto berpendapat, gagasan tersebut menguatkan posisi Pancasila sebagai system nialai, kekuatan kohesif dan integrative yang dapat meredakn konflik social politik. Kelompok ini mengatakan, nilai-nilai demokrasi liberal dan system multipartai  menyebabkan perpecahan bangsa karena perselisihan ideology pada tahun 1950-an. Eksistensi bangsa terancam oleh konflik politik, khususnya antara kaum nasionalis secular dengan nasionalis muslim sehingga consensus pplitik sulit dicapai.

Sementara pemerintah dan para pendukungnya terus-menerus mengutuk demokrasi liberal sebagai sumber konflik politik dan ketidakharmonisan. Abdurrahmn Wahid mempertanyakan aspek demokrasi liberal mana yang dapat diterima dan yang ditolak asas  tunggal Pancasila. Wahid mencatat, aspirasi rakyat, khususnya masyarkat bawah yang berbeda dengan pemerintah selalu dianggap oposisi terhadap kebijakan pemerintah yang membunuh substansi demokrasi yang berasal dari Pancasila itu sendiri. Herbert Feith menjelaskan, pelaksanaan demokrasi liberal atau konstitusional di Indonesia mempunyai dinamikanya sendiri dengan kebebasan pers. Penolakan keras terhadap usulan pemerintah dating dari pernyataan kelompok kerja petisi 50 pada 23 september 1982 yang menuduh pemerintah tidak jujur dan hanya melindungi kepentingan politik dan ekonomi penguasa yang tidak didasarkan pada cita-cita historis bangsa.

Meskipun mendapat berbagai reaksi di atas, pemerintah tetap merealisasikan rencananya untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal untuk semau partai politik. Pada 19 Februari 1985, pemerintah menetapkan partai-partai politik harus menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya dan persiden dengan otoritasnya dapat membekukan pengurus pusat partai-partai politik ini juika tidak mematuhinya. Bagi Golkar dan PDI, hal itu tidak menjadi masalah. Hanya PPP yang perlu mendefinisikan ulang identitasnya karena harus membuang kata “Islam” sebagai basisnya dan menggantinya dengan kata “Pancasila”.
Empat bulan berikutnya pada 17 Juni 1985, pemerintah membuat UU tentang ormas yang harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Menurut bab I UU tersebut, organisasi massa adalah organisasi yang dibentuk sekelompok warga negara Indonesia yang didorong persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama, dan kepercayaan pada Tuhan dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh partai politik dan organisasi massa menjadi syarat mutlak dan tidakperlu diperdebatkan. Artinya, partai politik dan ormas manapun yang menolak Pancasila sebagai asas tunggalnya akan dibekukan pemerintah (Faisal Ismail, 1999:201 -207).
Bagaimana dengan PPP ? Menurut Deliar Noer, jika PP P menerima gagasan asas tunggal Pancasila, maka PPP mengakui: (1) dalam Islam ada pemisahan anatar agama dan politik; (2) Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, sekurang-kurangnya dalam bidang politik; (3) Islam pernah menimbulkan kekacauan pada waktu yang lalu, sekurang-kurangnya bertolak belakang dalam bidang politik; (4) kekacauan dalam kampanye pemilu karena PPP masih menggunakan asas Islam,selain Pancasila.
Ternyata dalam perkembangannya, PP terpaksa menerima asas tunggal Pancasila, yang menetapkan setiap kekuatan partai politik harus berasaskan Pancasila dan tidak boleh ada asas lain. Dalam muktamarnya, PPP mengganti asas Islam menjadi asas Pancasila dan lambing kabah menjadi bintang yang menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mengatakan itu proses deislamisasi politik. Tetapi ada juga yang menggunakan istilah yang lebih lunak deformalisasi Islam. Taufik Abdullah mengatakan, peristiwa ini sebagai “halaman akhir” Islam politik dalam sejarah panjang Indonesia yang sejak zaman penjajahan selalu tampil ke depan (Lili Romli, 2003:120-123). PPP bukan partai Islam lagi sama dengan Golkar dan PDI yang terbuka untuk siapa saja, termasuk nonmuslim. Sejak semual PPP buklanlah satu-satunya tempat penytaluran aspirasi umat Islam. Golkar sangan aktif menarik umat Islam dan para pemimpinnya, memperbaiki tempat ibadah dan membangun pendidikan Islam di Indonesia. Sementara  dalam PDI pun tidak sedikit anggota atau pemilihnya yang beragama Islam.

Suara Soeharto mengenai Pancasila, sebagaimana dikatakan Douglas E Ramage, telah berubah setelah dicanangkannya asa tunggal. Soeharto  berbicara Pancasila sebagai “Ideologi terbuka”, dan kini tidak lagi tegas dalam ucapan-ucapannya tentang ancaman-ancaman terhadap Pancasila. Ruth McVey mengatakan, rezim Soeharto hanya melakukan manipulasi daripada memahami apa sebenarnya yang menjadi tuntutan ideology Pancasila. Pancasila menjadi tidak efektif sebagai ideology nasional dan prinsip-prinsipnya dianggap gagal jika bersaing dan berhadapan dengan prinsip-prinsip Islami  yang diberlakukan di Indonesia.

Memasuki awal 1990-an, Soeharto memahami penyalahgunaan Pancasila selama ini membuat prinsip-prinsipnya tidak punya legitimasi dan berbalik mengancam kredibilitas rezimnya. Robert Cribb dan Colin Brown menilai, Pancasila memebri tanggung jawab yang besar pada jabatan presiden. Sayangnya Soeharto justru memanfaatkan ideology tersebut untuk mengeruk keuntungan material dan finansial semaksimal mungkin. Menurut Hans Antlov, Soeharto telah kehilangan focus. Apa yang dipikirkannya hanyalah dirinya dan keluarganya-bukan lagi rakyatnya.
Share: