PELESTARIAN
PANCASILA
Kecenderungan untuk menempatkan
Pancasila sebagai “ideology negara” kembali terulang pada masa orde baru. Cikal
bakalnya sudah tertanam sejak demokrasi
terpimpin. Tokoh-tokoh anti-komunis saat utu tidak menemukan konsep ideology
yang dapat mempersatukna seluruh kekuatan anti komunis kecuali oancasila.
Masalahnya, wacana opancasila masa demokrasi terpimpin didominasi tafsir
Soekarno. Sedangkan para tokoh antikomunsi tidak menyetujuinya. Karena belum
menemukan alternative lain, jalan termudah adalah kembali pada Pancasila dengan
tafsir sama sekali berbeda dengan penafsiran Soekarno. Itupun bukan persoalan
mudah karena belum ada hyang mampu memberi interpretasi baru terhadap Pancasila
yang dapat menandingi Soekarno. Masalah itu baru bias bias dijawab ketika
Soeharto berhasil menafsirkan Pancasila dengan pedoman penghayatan dan
pengalaman Pancasila (P4). Orde baru melegitimasi tafsir-yang utnuk masa
selanjutnya mampu memberi tafsiran baru-dan tidak melakukan reposisi
pancasilayang kembali diperlukan sebagai sebuah ideology yang bersifat tunggal
(As’ad Said Ali, 2009:35-39).
Metode tunggal semacam itu
diberlakukan dalam tap MPR NO.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan
pengamalan pancasilayang diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan
masyarakat.namun demikian ada yang ambigu dalam Tap itu, pasal 1 menyatakan
"P4 tida“ merupakan tafsir pancasila sebagai dasr Negara”. Sementara dalam
konsiderans dinyatakan “demi kesatuan bahasa, kesatuan pandangan dan kesatuan
gerak langkah dalam menghayati serta mengamalkan pancasila perlu adanya pedoman
penghayatan dan pengamalan pancasila”.
Pada dasarnya pancasila sepenuhnya
telah menjadi sebuah ideology yang komprehensif. Pancasila adalah jiwa dan
kepribadian, pancasila adalah pandangan hidup, pancasila adalah tujuan,
pancasila adalah perjanjian luhur, pancasila adalah dasar Negara dan masih
banyak lagi. Pancasila ditempatkan pada posisi sentral yang mempunyai kebenaran
tunggal dan menampik gagasan lain yang dianggap kurang berkesesuaian. Negara
menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk mengajarkan pancasila bagaimana
seharusnya berprilaku yang benar menurut pancasila . kesadaran ini sudah
ditanamkan sejak pendidikan usia dini, mulai dari SD sampai
perguruan tinggi. Selain itu penataran P4 juga diwjibkan bagi seluruh
masyarakat. Semua instrumen itu dimaksudkan untuk mengajarkan bagaimana cara
penghayatan dan pengamalan pancasila.selain itu masyarakat diberi contoh
prilaku yang dianggap menyimpang dari pancasila dan prilaku yang tidak
menyimpang dari pancasila. Prilaku yang dianggap menyimpang disebut “ekstrem
kiri” dan prilaku yang tidak dianggap menyimpang disebut” ekstrem kanan”,
dimana negara menjadi pihak yang paling benar dalam menghayati dan mengamalkan
Pancasila (As’ad Said Ali, 2009:40-42).
Sejak 1970, orde baru mengubah
peringatan Hari Keasktian Pancasila pada setiap awal Oktober. Keberhasilan
Soeharto menumpas pemberontakan 30 September 1965, memberi inspirasi kepadanya untuk
memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober setiap tahun. Kebijakan
baru ini sejalan dengan keyakinan pemerintah semua usaha pemberontakan yang
ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain selalu berakhir dengan
kegagalan. Kelangsungan hhidup Pancasila
melalui semua fase kritis yang telah dihadapi bangsa ini membuat Soeharto
percaya bahwa Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideology negara tidak dapat
ditolak.
Soeharto terus melindungi dan
mempertahankan pancasila dari semua ancaman dan memperjuangkan pancasila
sebagai persoalan hidup atau mati bagi bangsa indonesia. Hasilnya tercapai dua
konsensus nasional antara para pemimpin ABRI dan semua kekuatan politik. Yang
pertama sepakat untuk tetap memprtahankan pancasila setelah pemberontakan yang
dituduhkan pada pki. Kedua, antara ABRI dan kekuatan sosio politik tidaka akan
berpartisipasi dalam pemilu. Perlindungan rezim soeharto terhadap pancasila dan
UUD 1945 sangat rinci. Tetapi soeharto tetap mencari jaminan yang lebih
menyakinkan dengan mengajukan pancasila sebagai ideologi negara untuk mematikan
ideologi islam. Sebab ia masih curiga pada kelompok islam yang akan menggati
ideologi pancasila dengan ideologi islam.
Kecurigaan pemerintah terhadap umat
islam menjadi lebih kuat ketika para wakil partai islam “ memaksakan keabsahan
piagam jakarta sebagai pembukaan UUD 1945” walaupun gagal dalam sidang MPRS.
Menurut Leo Suryadinata, kecurigaan pemerintah terhadap umat islam mungkin
dipengaruhi revolusi islam di Iran yang mencapai puncaknya. Donald K Emerson
menjelaskan, akar kecurigaan antara pemerintah dan umat islam adalah khawatir
umat islam menggunakan aqidahnya untuk menghancurkan negara. Sedangkan umat
islam takut negara merusak aqidah mereka.
Antara tahun 1976-1977, soeharto
mulai melontarkan gagasan penyusunan P4 yanga akan dijadikan sebagai pedoman
resmi untuk pemahaman dan pengamalan pancasila dalam berbagai pidato nasional.
Ia mengajukan Nama Eka Prasetya Pancakarsa untuk penyusunan P4 sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten dan
tulus untuk mewujudkan lima cita-cita.(1) taqwa kepada tuhan yang maha esa dan
menghargai orang lain yang berlainan agama.(2) mencintai sesama manusia dan
selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang wenang dan tepa slira.(3)
mencintai tanah air menempatkan kepentingan negara dan bangsa diatas
kepentingan pribadi.(4) demokrasi dan patuh pada utusan rakyat yang sah; dan
(5) suka menolong, menggunakan apa yang dimilikinya untuk menolong orang lain
sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.
Presiden Soeharto mengajukan draf P4
kepada MPR dengan maksud membantu DPR menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang
sesingkat mungkin.akhirnya, rancangan P4 disahkan MPR dalam sidangnya pada
tanggal 21 maret 1978 dan dikuatkan dengan Tap MPR No.II/MPR/1978. Pengesahan
P4 disahkan melalui voting oleh semua fraksi kecuali PPP, karena PPP tidak
setuju dengan pengesahan P4. Materi refrensi penataran P4 menjelaskan bukan
hanya soekarno yang berbicara mengenai pancasila melainkan ada muh. Yamin dan
soepomo. Nugroho Notosusanto merujuk pada buku suntingan muhammad yamin
menyatakn, soekarno bukan orang pertama yang merumuskan lima prinsip pancasila.
Soekarno hanyalah orang yang memunculkan istilah pancasila. Bertolak dari
premis ini, nugroho notosusanto menggugat keabsahan 1 Juni 1945 sebagai hari
lahirnya pancasila.
Soeharto menghapus peringatan hari
lahirnya pancasila pada 1 Juni 1945. Ketika tulisan Nogroho dilansir,MPR bahkan
telah 3 kali (1966,1973,1978) memutuskan rumusan pancasila yang legal dan
otentik dalam pembukaan UUD 1945 tidak meliputi pemikiran soekarno tentang
internasionalisme dan rumusan pemikirannya yang lain. Secara transparan rezim
soeharto mengabsahkan premis nugroho diatas. berbicara tanpa teks dihadapan
rapat pimpinan ABRI di pekan baru pada tanggal 27 maret 1980, soeharto
menyerang lawan-lawan politiknya dan menyampaikan sejumlah pemikiran
kontroversial tentang peran ABRI di Masyarakat.”sebelum orde baru lahir, kita
melihat dan merasakan ideologi nasional kita dimasuki oleh berbagai macam
ideologi yang telah ada, apakah itu marxisme, nasionalisme, atau agama.kelompok
yang menganut berbagai ideologi tersebut sesekali mereka akan berbuat kasar dan
memaksakan kehendak kepada golongan
lainnya. Dengan demikian akan terjadi pemberontakan yang tak ada habis-habisnya.
Semua itu akan menjadi halangan terhadap pembangunan masyarakatyang adil dan
makmur berdasarkan pancasila.oleh karena itu orde baru bertekad untuk melakukan
koreksi total terhadap penyimpangan terhadap pancasila dan UUD 1945.
Apa yang diutarakan soeharto sebagai
pihak yang berkuasa tidaklah mengejutkan secara politik. Tetapi, ketika
soeharto menyebutkan sosialisme, marhaenisme, nasionalisme, dan agama dalam
daftar ideologi yang tidak dikehendaki membanngkitkan kemarahan hampir setiap
kelompok politik dan sosial negeri ini. Hal itu membuat kecewa penganut
sosialisme, kelompok nasionalis sekuler dan kelompok islam. Apakah yang
mendesak soeharto untuk bicara dengan bahasa lugas, menyimpang dari
kebiasaanya?? Pertama, sangat mungkin soeharto benar benar marah ketika NU
melakukan walk out saat berlangsung pembahasan tentang P4 dan undang – undang
pemilu. Lebih dari semuanya, pidatonya di Pekan Baru merupakan untuk menggaris
bawahi keyakinannya bahkan hampir menjadi obsesinya. Meskipun soeharto selalu
memancarkan aura-aura raja – raja kuno jawa yang sabar, menahan diri,
bijaksana, tenang dan mudah mengendalikan diripada waktu tertentu emosinya
meledak. Dalam keadaan seperti itu, ia akan menyerang secara membabi buta pada
yang berseberangan dengan pemikirannya. Pidato yang diadakan di pekanbaru
merupakan salah satu dari sifat emosionalnya.
Kedua, Soeharto menyatakan dengan
sangat jelas meskipun menhankam jenderal Muhammad jusuf boleh mengatakan
apapun, ABRI dan GOLKAR tetap satu dan tidak berubah. Menurut jendral
Soemitro,sebenarnya soeharto agak marah dan tidak senang dengan pidato Muhammad
Jusuf di Pekan Baru yang menekankan ABRI
harus berada pada semua golongan. Menurut pandangan kelompok lingkaran
dalam Soeharto, masalah yang dipermasalahkan Muhammad Jusuf, Widodo, Sutopo
Yuwono, dan sejumlah pensiunan jenderal ABRI harus berdiri diatas semua
golongan merupakan sesuatu yang tidak realistis. Menurut Soemitro, jika ABRI
melakukan hal itu, maka PPP memenangkan
pemilihan umum. Jika hal itu terjadi, maka ABRI akan mendapat pukulan lagi.
Pidato seoharto di Pekanbaru membuat
semuanya menjadi jelas, kampanye terus berjalan dan bukan hanya untuk pemilu
1982, tetapi juga demi pemilihan presiden yang berarti kampanye tersebut untuk
mengangkatnya menjadi presiden keempat kalinya dalam lima tahun berikutnya. Dalam
pidatonya dikakatakan, kehadiran dirinya sangatlah masih diperlukan, islam
ditengarai sebagai ancaman dan ABRI merupakan kekuatan yang dapat menjaga
pancasila. Soeharto banyak berubah dalam masa 15 tahun kepemimpinannya. Ia
menjadi otoriter, feodal, lebih kaku, semakin percaya mistik, sinis, korup, dan
tidak mau mendengarkan kritikan dari orang lain.
Bahkan jika ada yang berani
membangkang dia tidak akan segan – segan lagi, dia sudah termakan oleh sifat
terlalu percaya dirinya yang bisa membahayakan dirinya sendiri.pada tahun awal
kepemimpinannya dia sebagai pejabat presiden dan menjadi presiden, soeharto
banyak menyandarkan dirinya kepada para penasehatnya baik itu sipil maupun
militer. Dan jika ia telah mengambil keputusan, maka tak mungkin ada pihak yang
bisa membujuknya untuk mengubah keputusan, sekalipun keputusannya itu keliru.
Soeharto mengebiri partai-partai
politik, demi kelangsungan partainya dia rela melakukan apapun untuk
kemaslahatan dirinya. Bahkan soeharto memberangus Media massa, mengawasi
mahasiwa dengan ketat bahkan memenjarakan lawan politiknya. Tetapi David
jenkins mengatakan, soeharto mencapai banyak hala pada masa pemerintahannya.
Ekonomi berkembang sangat pesat, masuknya pendapatan dari minyak dan
kayu,produksi beras yang mencapai dua kali lipat, pendidikan yang mulai
digalakan mulai dari didirikannya sekolah dan jalan – jalan baru yang dibangun
diseluruh negeri di kepulauan indonesia. Semuanya berhasil sehingga berbagai
kritik yang mencari-cari kesalahan Soeharto tidak patut dipertimbangkangkan.
Penghormatan tertinggi dari para penasihat paling senior dan anggota cabinet
semakin memperkuat keyakinannya akan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Karena kekuasaan kian besar, Soeharto
semakin merasakan “ancaman” lebih besar terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang
dianggap berlebihan bagi banyak orang. Soeharto berusaha membangun struktur
yang memastikan tidak ada perubahan, baik terhadap falsafah negara maupun UUD 1945. Menurut analisis terakkhirnya, ABRI
akan menjadi penjamin tidak akan terjadinya perubahan semacam itu. Tiga minggu
setelah pidato di pekanbaru, dalam sambutan tanpa teks dalam ulang tahun ke-28
Kopassus di cijantung, Soharto sekali lagi melakukan serangan. Kini sasarannya
“mahasiswa dan ibu rumah tangga” yang menyebarkan desas-desus istrinya, Tien
Soeharto, menerima komisi dan dapat menentukan siapa yang akan memenagkan
tender pemerintah. Selain itu beredar rumor dirinya mengambil seorang aktris
terkenal sebagai istri simpanan. Menurut Soeharto, desas-desus tersebut
bertujuan untuk menjatuhkan kedudukannya. Tetapi, mereka yang menyebarkan itu
lupa jika dirinya tersingkir, maka yang lain akan muncul mencegah rencana itu.
Terlebih lagi jika orang-orang tersebut hendak mengganti ideology Pancasila dan
mengubah UUD 1945.
Pada 13 Mei 1980 sekelompok tokoh yang terdiri dari 50 orang, termasuk
sejumlah negarawan sepuh yang sangat dihormati menyampaikan selembar
“pernyataan keprihatinan” kepada DPR yang menyatakan “Pernyataan kecewa” rakya
Indonesia atas sejumlah pidato Soeharto. Dokumen tersebut ditandatangai oleh
2 orang bekas Perdana Menteri Mohammad
Natsir dan Burhanuddin Harahap; bekas ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara;bekas
Menhankam/KASAB Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, bekas Gubernur DKI Letjen
(Purn.) Ali Sadikin, bekas Kepala Polri Jenderal Polisi (Purn.) Hugeng Imam
Santoso, Letjen (Purn.) Mokoginta, dan Jenderal (Purn.) Muhammad Jasin.
Terdapat juga nama beberapa manatan menteri dan berbagai tokoh Islam dan
mahasiswa.
Petisi itu menyatakan
pidato Presiden Soeharto menimbulkan asumsi terjadinya polarisasi antara pihak
yang “mempertahankan Pancasila” dengan
pihak yang hendak “menggantikan Pancasila”. Petisi ini menyatakan Soeharto
telah menafsirkan secara keliru dalam dua pidatonya. Soeharto menggunakan
ideology negara itu untuk menyerang lawan politiknya. Sebaliknya, penanda
tangan petisi menyatakan Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa. Pidato itu
memberikan keasan terhadap pihak yang memandang dirinya sendiri sebgai personifikasi
Pancasila. Sehingga setiap “setiap napas oposisi” dinilai sebagai anti-pancasila.
Sebagai pemilih mereka meminta wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR untuk
menanggapi pidato tersebut. Sangat jelas petisi itu mengkritik presiden
Soeharto, ditulis secara piawai dan disampaikan sesuai kjalur konstitusi yang
menyulitkan pemerintah memberi reaksi keras.
Nasution prihatin dengan
cara-cara Soeharto mengabaikan umat Islam dengan mengatakan, “Sembilan puluh
persen rakyat Indonesia pemeluk Islam. Telah menjadi pemahaman kedua pihak
sejak awal memperjuangkan aspirasi Islam bukan berarti meragukan Pancasila.
Bahkan dengan pemahaman religious umat Islam dapat memahami etika dan moral
Pancasila. Bung Karno dan Bung Hatta telah menjelaskan hal itu dalam berbagai
kesempatan”. Politisi NU Khalid Mawardi yang menjabat sebagai Wakil Sekjen PPP
menyuarakan hal yang sama. PPP menganggap Islam dan Pancasila tidak
bertentangan, tetapi saling melengkapi. Amin Iskandar dari FPP di DPR
menambahkan tidak ada pemimpin partai dan politisi di kalangan partai-partai
yang berambisi mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan menggantikannya
dengan Islam. Menurut ketua umum PP Muhammadiyah H.A.R. Fachruddin, aksi
“walk-out” ketika siding membahas P4 dilakukan “bukan dalam rangka anti-pancasila
tetapi dalam rangka demokrasi”. Sedangkan Wakil Rois A’am PB NU K.H. Anwar Musadad
menyatakan, aksi “walk-out” yang dilakukan pada
siding MPR 19878 oleh fraksi PPP
dan kelompok NU dalam siding penerapan UU Pemilu semata-mata karena perbedaan
pendapat yang dijamin oleh Pancasila dan
UUD 1945. Ia bertanya, “Apakah berdasarkan Pancasila semua orang harus menjadi
yes men ?”.
Menarik untuk dicatat,
kemarahan Soeharto meningkat dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok
tradisional NU. Sementara sejumlah tokoh politik Islam yang terkemuka yang ikut
menandatangani petisi 50 adalah kelompok
Islam modernis yang pernah duduk sebagai
anggota Masyumi.Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin
Prawiranegara pernah menduduki jabatan tinggi di Masyumi. Ketiganya terlibat
dalam pemberintakan PPRI Sumatera Barat pada 1957-1958.
Ketika delegasi kelompok
50 diterima oleh berbagai fraksi DPR, Natsir menjelaskan pidato seorang kepala
negara selalu memliki nilai penting sebagai undang-undang, instruksi atau
perintah di negara mana pun tak terkecuali di Indonesia. Karena itulah,
kelompok petisi 50 sangat berkepentingan
dengan pidato-pidato yang dilakukan oleh Presiden Soeharto di hadapan para
panglima militer dan pendiri militer. Menurut Natsir, pdato seperti di
Pekanbaru tidak bijaksana, membahayakan persatuan nasional dan meminta DPR
untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Penandatanganan petisi menyatakan, setelah pemberontakan darul Islam
dipadamkan dan PKI dihancurkan, Pancasila tidak lagi menjadi masalah, tapi
bagaimana melaksanakannya (David Jenkins, 2010: 211-219).
Pemerintah menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal berdasarkan pengalaman politik masa beberapa
pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1977, terjadi pertarungan antar Golkar sebagai
partai pemerintah berhadapan dengan Islam. Sedang pada pemilu 1982 terjadi
peristiwa Lapangan Benteng, massa Golkar yang menghadiri kampanye dikejar-kejar
oleh massa PPP. Dengan demikian, diperlukan penataan kesatuan orientasi dengan
penerapan asas tunggal sehingga identitas primordial partai politik dan ormas
akan pudar.
Konsep asas tunggal
pancasil bermula dari pidato presiden Soeharto di Pekanbaru, Riau dalam
Pembukaan Rapim ABRI pada 27 Maret 1980 dan ulang tahun Kopassu di Jakarta 16
April 1980. Dalam kedua pidato itu Soeharto menginginkan agar Pancasila dan UUD
1945 menjadi landasan dasar bagi
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar tidak disalahgunakan dan
dirongrong oleh berbagai kekuatan baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan.
Keinginan Presiden Soeharto ini diulangi lagi pada Sidang Paripurna DPR 16
Agustus 1980 yang menegaskan kembali perlunya asas tunggal Pancasila sebagai
kekuatan social dan politik di Indonesia. Deliar Noer mengatakan, (1) asas
tunggal partai menafikkan kebhinekaan masyarakat yang berkembang menurut
keyakinan masing-masing yang bersumber pada ajaran agama atau pemahaman lain;
(2) asas tunggal partai menghalangi orang-orang dengan keyakinan yang sama
untuk mengelompok dan bertukar pikrian sesamanya berdasarkan, termasuk
agama yang dianut masing-masing; (3)
asastunggal partai manfikkan hubungan antara agama dan politk; (4) asas tunggal
partai mengandung kecenderungan kea rah system partai tunggal; (5) asas tunggal
partai menghalangi perkembangan paham-paham yang bersumber dari agam yang
memperkuat Pancasila (Lili ROmli, 120-123).
Isu-isu keagamaan cukup
popular selama kampanye pemilu 1982. Symbol-simbol keagamaan dan primordial
menjadi kekuatan kampanye, mengalahkan isu-isu politik yang oenting untuk
diperdebatkan. Mislanya, juru kampanye PPP mengklaim mencoblos tanda gambar
partai mereka sama dengan memilih Islam. Sedangkan mencoblos partai lain,
khususnya Golkar tidaklah Islami. Bahkan mengejek Golkar sebagai akronim
golongan Quraisy merujuk pada suku Quraisy yang menentang usaha Nabi Muhammad
SAW menyebarkan Islam di Mekkah. Menanggapi isu-isu ini, ketua umum Golkar Amir
Moertono dalam pidato kampanyenya mengatakan pemilu semata-mata masalah politik
dan tidak terkait dengan loyalitas keagamaan. Seperti dalam pemilu sbelumnya,
pada pemilu 1982 Golkar mendapatkan suara mayoritas, yaitu 64,34 persen suara,
PP 17,78 persen suara dan PDI 7,88 persen suara.
Berdasarkan persentase
hasil pemilu Golkar mendapat 246 kursi (232 kursi pada pemilu 1977), PPP 94
kursi (99 kursi pada pemilu 1977) dan PDI mendapat 24 kursi (29 kursi pada
pemilu 1977). Distribusi ini menujukan posisi PPP melemah dengan
kehilangan 5 kursi dibandingkan pemilu pemilu 1982. Sedangkan GOlkar bertambah
kuat dengan tambahan 14 kursi. PPP terus mengalami kekalahan politik berhadapan
dengan Golkar. Seperti halnya PPP, posisi PDI juga mengalami kemunduran dengan
kehilangan 5 kursi pada pemilu 1982. PPP dan PDI terlalu lemah untuk dapat
menandingi Golkar yang didukung oleh pemerintah dan militer karena kekurangan
dana dan buruknya system organisasi dan politik negeri ini.
Menyusul kekalahan
politiknya, PPP dan PDI dikejutkan dengan usulan presiden Soeharto ntuk
merapkan Pancasila sebagai asas tunggal untuk seluruh partai politik pada
pidato kenegaraan di depan siding DPR 16 agustus 1982. Gagasan ini dimasukkan
dalam Tap MPR No.11/MPR/1983 pasal 3 bab IV demi memelihara, memperkuat dan
memantapkan Pancasila dalam kehidupan social dan bangsa. Seluruh partai politik
dan GOlkar harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Dengan ketetapan
ini, pemerintah menghapus asas khusus dan karakteristik “Islam” yang menjadi
landasan PPP dan “Demokrasi, Nasionalisme, dan Keadilan Sosial” yang menjadi
landasan PDI. Dengan menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal, pemerintah
percaya antagonism ideologis diantara kekuatan-kekuatan sosila politik dapat
dihilangkan. Sehingga pemerintah dapat mencurahkan seluruh perhatian dan
enrginya untuk merealisasikan program pembangunan nasional.
Tujuan pemerintah
menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik
menimbulkan reaksi dari sebagaian masyarakat. Pegai negeri menyetujuinya dengan
alasan mengurangi ketegangan politik dalam masyarakat, memperkuat kekuatan nasional dan mendukung pelaksanaan
program pembangunan nasional. Moeljarto Tjokrowinoto berpendapat, gagasan
tersebut menguatkan posisi Pancasila sebagai system nialai, kekuatan kohesif
dan integrative yang dapat meredakn konflik social politik. Kelompok ini
mengatakan, nilai-nilai demokrasi liberal dan system multipartai menyebabkan perpecahan bangsa karena
perselisihan ideology pada tahun 1950-an. Eksistensi bangsa terancam oleh
konflik politik, khususnya antara kaum nasionalis secular dengan nasionalis
muslim sehingga consensus pplitik sulit dicapai.
Sementara pemerintah dan
para pendukungnya terus-menerus mengutuk demokrasi liberal sebagai sumber
konflik politik dan ketidakharmonisan. Abdurrahmn Wahid mempertanyakan aspek
demokrasi liberal mana yang dapat diterima dan yang ditolak asas tunggal Pancasila. Wahid mencatat, aspirasi
rakyat, khususnya masyarkat bawah yang berbeda dengan pemerintah selalu
dianggap oposisi terhadap kebijakan pemerintah yang membunuh substansi
demokrasi yang berasal dari Pancasila itu sendiri. Herbert Feith menjelaskan,
pelaksanaan demokrasi liberal atau konstitusional di Indonesia mempunyai
dinamikanya sendiri dengan kebebasan pers. Penolakan keras terhadap usulan
pemerintah dating dari pernyataan kelompok kerja petisi 50 pada 23 september
1982 yang menuduh pemerintah tidak jujur dan hanya melindungi kepentingan
politik dan ekonomi penguasa yang tidak didasarkan pada cita-cita historis
bangsa.
Meskipun mendapat
berbagai reaksi di atas, pemerintah tetap merealisasikan rencananya untuk
menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal untuk semau partai politik. Pada 19
Februari 1985, pemerintah menetapkan partai-partai politik harus menerima
Pancasila sebagai asas tunggalnya dan persiden dengan otoritasnya dapat
membekukan pengurus pusat partai-partai politik ini juika tidak mematuhinya.
Bagi Golkar dan PDI, hal itu tidak menjadi masalah. Hanya PPP yang perlu
mendefinisikan ulang identitasnya karena harus membuang kata “Islam” sebagai
basisnya dan menggantinya dengan kata “Pancasila”.
Empat
bulan berikutnya pada 17 Juni 1985, pemerintah membuat UU tentang ormas yang
harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggalnya. Menurut bab I UU
tersebut, organisasi massa adalah organisasi yang dibentuk sekelompok warga
negara Indonesia yang didorong persamaan aspirasi, profesi, idealitas,
kepentingan agama, dan kepercayaan pada Tuhan dengan tujuan merealisasikan
tujuan tertentu dalam negara Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU
tersebut, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh partai politik dan
organisasi massa menjadi syarat mutlak dan tidakperlu diperdebatkan. Artinya,
partai politik dan ormas manapun yang menolak Pancasila sebagai asas tunggalnya
akan dibekukan pemerintah (Faisal Ismail, 1999:201 -207).
Bagaimana
dengan PPP ? Menurut Deliar Noer, jika PP P menerima gagasan asas tunggal
Pancasila, maka PPP mengakui: (1) dalam Islam ada pemisahan anatar agama dan
politik; (2) Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, sekurang-kurangnya dalam
bidang politik; (3) Islam pernah menimbulkan kekacauan pada waktu yang lalu,
sekurang-kurangnya bertolak belakang dalam bidang politik; (4) kekacauan dalam
kampanye pemilu karena PPP masih menggunakan asas Islam,selain Pancasila.
Ternyata
dalam perkembangannya, PP terpaksa menerima asas tunggal Pancasila, yang
menetapkan setiap kekuatan partai politik harus berasaskan Pancasila dan tidak
boleh ada asas lain. Dalam muktamarnya, PPP mengganti asas Islam menjadi asas
Pancasila dan lambing kabah menjadi bintang yang menimbulkan pro dan kontra.
Ada yang mengatakan itu proses deislamisasi politik. Tetapi ada juga yang
menggunakan istilah yang lebih lunak deformalisasi Islam. Taufik Abdullah
mengatakan, peristiwa ini sebagai “halaman akhir” Islam politik dalam sejarah
panjang Indonesia yang sejak zaman penjajahan selalu tampil ke depan (Lili
Romli, 2003:120-123). PPP bukan partai Islam lagi sama dengan Golkar dan PDI
yang terbuka untuk siapa saja, termasuk nonmuslim. Sejak semual PPP buklanlah
satu-satunya tempat penytaluran aspirasi umat Islam. Golkar sangan aktif
menarik umat Islam dan para pemimpinnya, memperbaiki tempat ibadah dan
membangun pendidikan Islam di Indonesia. Sementara dalam PDI pun tidak sedikit anggota atau
pemilihnya yang beragama Islam.
Suara Soeharto mengenai
Pancasila, sebagaimana dikatakan Douglas E Ramage, telah berubah setelah
dicanangkannya asa tunggal. Soeharto
berbicara Pancasila sebagai “Ideologi terbuka”, dan kini tidak lagi
tegas dalam ucapan-ucapannya tentang ancaman-ancaman terhadap Pancasila. Ruth
McVey mengatakan, rezim Soeharto hanya melakukan manipulasi daripada memahami
apa sebenarnya yang menjadi tuntutan ideology Pancasila. Pancasila menjadi
tidak efektif sebagai ideology nasional dan prinsip-prinsipnya dianggap gagal
jika bersaing dan berhadapan dengan prinsip-prinsip Islami yang diberlakukan di Indonesia.
Memasuki awal 1990-an,
Soeharto memahami penyalahgunaan Pancasila selama ini membuat
prinsip-prinsipnya tidak punya legitimasi dan berbalik mengancam kredibilitas rezimnya.
Robert Cribb dan Colin Brown menilai, Pancasila memebri tanggung jawab yang
besar pada jabatan presiden. Sayangnya Soeharto justru memanfaatkan ideology
tersebut untuk mengeruk keuntungan material dan finansial semaksimal mungkin.
Menurut Hans Antlov, Soeharto telah kehilangan focus. Apa yang dipikirkannya
hanyalah dirinya dan keluarganya-bukan lagi rakyatnya.