Dalam
al-Qur’an QS.Hud [11]:40 menyebutkan “muatkanlah ke dalam bahtera itu
masing-masing sepasang dan keluargamu”. Ayat tersebut tidak menyebutkan yang
sepasang itu binatang atau bukan. Tetapi jika mengacu kepada susunan kalimatnya
berarti yang dimaksud sepasang di sini adalah bukan manusia. Apalagi kalau
bukan binatang. Al-Qur’an juga tidak menyebutkan jumlah spesifiknya, bisa jadi
semua binatang yang menghuni pulau besar tersebut. Sedangkan dalam kitab
Kejadian 7: 1-9 menyebutkan jumlah binatang yang diangkut ke dalam bahtera
antara lain: 7 pasang binatang halal, sepasang binatang haram, dan 7 pasang
spesies burung. Kesimpulannya, jumlah binatang yang diangkut ke dalam bahtera
memang tidak sebanyak yang kita kira dengan alasan: al-Qur’an tidak menyebutkan
berapa jumlahnya, kitab kejadian hanya menyebutkkan total sebanyak 15 pasang,
dan dikuatkan dengan teori periodisasi bumi yang meyakini bentuk geografis bumi
dulunya hanya sebuah pulau besar. Rasionalnya, semakin kompleks bentuk
geografis sebuah wilayah maka semakin beragam juga flora dan faunanya dan
begitu juga sebaliknya.
Buku
ini juga menyinggung kisah atlantis. siapa yang tidak tahu kisah atlantis ?
sebuah hal yang biasa jika seseorang membaca buku, menonton film, bahkan
bermain game yang terinspirasi dari kisah atlantis. Namun menjadi sebuah hal
yang menarik jika ternyata wilayah itu terletak di Nusantara. Ya, akhir-akhir
ini banyak ilmuan yang meniliti tentang “Surga dari Timur”. Salah satunya Prof.
Dr. Arysio Santos, seorang fisikawan dan geolog Brazil. Ilmuan ini menemukan
kunci dalam dialog Plato yang bertajuk “Timaeus” yang membahas tentang Atlantis;
the straits of heracles (pilar-pilar herkules). Persyaratan utama Plato
tentang benua Atlantis adalah harus berada di sebelah luar “pilar-pilar
hercules”. Herkules adalah anak dewa tertinggi yunani, Zeus. Herkules merupakan figur maskulinitas dan
keperkasaan. Arysio Santos menyimpulkan bahwa
pilar-pilar herkules merupakan asosiasi bagi 2 gunung berapi paling
berbahaya di dunia; Krakatau dan Toba.
Arysio
Santos juga mengungkapkan mengenai leluhur bangsa mesir: Plato mempelajari legenda
Atlantis dari leluhurnya, Solon. Solon mendapatkan cerita itu dari para pendeta
Mesir. Para pendeta itu mendapatkannya dari para pemuka hindu di India dan
Nusantara, tempat legenda itu nyata terjadi. Dan fakta yang ada juga menguatkan
bahwa Atlantis memang terletak di Nusantara. Atlantis dijuluki sebagai “Tanah
Surga”. Sangat sejalan dengan ungkapan penduduk asli Nusantara saat ini yang
menjuluki negerinya sebagai tanah surga. Tanah yang subur dengan keanekaragaman
flora dan fauna terbanyak di dunia ini tentu pantas dijuluki sebagai tanah surga.
Dan
kisah tenggelamnya Atlantis sangat bisa dikorelasikan dengan peristiwa banjir yang
terjadi di zaman Nabi Nuh. Buku ini juga mengaitkan antara Atlantis yang
berperadaban tinggi dengan wilayah peradaban Nabi Nuh dan kaumnya. Untuk
membuat konstruksi bahtera yang mampu menerjang badai dahsyat tentu dibutuhkan
teknologi yang mumpuni. Seberapa mutakhir sebuah teknologi biasanya selalu
sejalan dengan seberapa maju sebuah peradaban yang memakainya. Artinya
peradaban kaum Nuh bukan peradaban sembarangan, terbukti dengan karyanya sebuah
bahtera yang tahan diterjang badai selama puluhan hari. Dari segi sumber daya
alam juga sangat menentukan hasil konstruksi bahtera tersebut. Di dalam kitab
kejadian 6:14 disebutkan bahan baku bahtera adalah kayu “ghofir atau kopher”.
Dalam bahasa ibrani “kopher” berarti ter atau sejenis kayu damar. Kata
tersebut oleh Ath-Thabari disebut sebagai khasyab saaj, sejenis kayu jati
yang sangat mudah ditemukan di nusantara khususnya di Jawa.
Dari
fakta yang telah dijabarkan di atas, buku ini berhasil membuktikan bahwa
peradaban Atlantis adalah peradaban Nabi Nuh yang terletak di Nusantara yang
tenggelam akibat bencana universal. Akibat bencana tersebut bentuk geografis
bumi berubah, memencar ke seluruh permukaan bumi. Setelah banjir mulai surut
kemudian kaum Nuh mendiami suatu tempat dan mulai menyebar ke penjuru bumi
untuk membangun peradaban kembali yang telah hilang. Dan itulah salah satu
sebab kenapa ras manusia saat ini beragam.
Tema
dari buku ini sangat menarik dengan mengangkat kisah kenabian dan
mengkorelasikannya dengan hilangnya peradaban Atlantis dan kaitannya dengan
Nusantara. Buku ini melibatkan berbagai literatur ilmu, antara lain: Geologi,
Mitologi, Stratigrafi, Linguistik, Antropologi, dan masih banyak lagi. Buku ini
membandingkan kisah-kisah yang bertema sama dengan kisah Nabi Nuh dari berbagai
kebudayaan seperti Ut-napishtim, Xisuthrus, Atrakhasis, Ziugiddu atau Ziudsuddu,
dan Manu yang berasal dari timur. Serta ada Ogyges, Deucalion, Megarus, Dwyfan
dan Dwyfach, Tlingit, Kunyan, Doqueboth, Messou, Wiskaytach,
Mee-nee-ro-ka-ha-sha, Couy-ouy, Insect people, Szeukha, Montezuma, Coxcox,
Tezpi, Nene, Nota dan Nena yang berasal dari barat.
Buku
ini juga membandingkan kisah banjir Nabi Nuh dalam 3 Agama Abrahamik yaitu
Islam, Kristen, dan Yahudi. Dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
melakukan perbandingan-perbandingan diatas maka saya kira buku ini cocok untuk
semua kalangan. Dari kaum agamawan sampai ilmuan. Selain itu, buku ini juga
memuat grafik atau ilustrasi-ilustrasi penting sehingga memudahkan kita untuk
memahami isinya. Ditambah lagi kualitas kertas yang bagus dan cetakan yang
berwarna dengan harga yang terjangkau. Sayangnya proporsi topik dalam buku ini
kurang seimbang, dalam buku ini belum dijabarkan secara komprehensif bagaimana
keadaan pasca-banjir. Hal itu yang membuat saya atau mungkin pembaca yang lain
penasaran.
Tapi
walau bagaimanapun, buku ini sangat layak untuk dibaca karena kaya ilmu dan
cocok untuk semua kalangan. Dengan membaca buku ini kita menjadi tahu
tentang berbagai kebudayaan, disipllin
ilmu, dan kisah-kisah agama yang patut menjadi bahan pembelajaran. Dan ingat bahwa
buku adalah gerbang dunia, dan membaca adalah salah satu cara untuk memasuki
gerbang tersebut. Maka dari itu, mari buka pikiran kita, buka mata kita, dan
lihatlah dunia dengan membaca.
Rafiqi, Yusep. 2015. Misteri Banjir Nabi Nuh & Tenggelamnya Atlantis Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press.